Kursi Perak
(Kisah dari Namia)
Di suatu hari yang amat  panas di tengah musim gugur, tampak Jill Pole sedang menangis di  belakang aula sekolah. Seperti biasa, karena diganggu teman-temannya.  Karena ini bukanlah sebuah cerita sekolahan maka akan kuceritakan  sedikit saja tentang sekolah Jill, yang memang bukan sebuah bahan cerita  yang menyenangkan. Merupakan sebuah sekolah yang menerima anak lelaki  maupun wanita, yang di Inggris disebut sekolah campuran, walaupun tak  secampur aduk pikiran pengelolanya.  
Mereka punya gagasan untuk membiarkan semua anak melakukan apa  saja yang di sukai. Sayangnya, yang disukai beberapa anak yang lebih  besar adalah mengusik anak-anak lainnya. Segala hal, segala yang  menyebalkan, yang di sekolah-sekolah lain pasti akan diusut atau dicegah  setengah jalan, di sini boleh saja dilakukan. Dan kalaupun diusut, para  pelakunya tak akan dihukum atau diapa-apakan. Kepala Sekolah hanya akan  menganggapnya sebagai kasus psikologis yang menarik dan memanggil si  pelaku untuk berbincang selama berjam-jam. Dan bila kau bisa  menyampaikan sesuatu dengan tepat, kau akan semakin disukai oleh Kepala  Sekolah.  
Itulah yang membuat Jill Pole menangis pada siang hari itu di  sebuah jalan setapak yang becek di antara ruang senam dan semak-semak.  Ketika ia belum lagi hendak menyelesaikan tangisnya, muncullah seorang  anak dari sudut ruang senam seraya bersiul-siul bersaku tangan. Anak itu  hampir saja menabraknya.  
"Lihat-lihat dong, kalau jalan!" sergah Jill Pole sengit.  
"Oh," jawab anak itu, "gitu saja ngamuk" dan tampak olehnya bahwa  gadis itu memerah. "Eh, Pole”, katanya, "Kau kenapa?" Jill hanya  menjebik, seperti yang kau lakukan bila hendak mengucapkan sesuatu tapi  tahu bahwa begitu kau ucapkan sepatah kata, air matamu akan kembali  ambrol seketika.  
"Mereka lagi, pasti," tebak anak itu gemas sambil menyusupkan  tangannya lebih dalam ke saku celananya. Jill mengangguk. Tak perlu lagi  mengucapkan sesuatu, kalaupun ia bisa. Mereka berdua sudah sama-sama  maklum.  
"Nah, sudahlah," kata anak lelaki itu. Sebetulnya ia bermaksud  baik, namun karena nada ucap-annya yang seperti hendak berkhotbah,  membuat kegusaran Jill meluap seketika (seperti biasa kau rasai juga  bila terpotong ketika sedang enak-enak menangis).  
"Huh! Pergi sana!”, “Usil amat," usir gadis itu. "Tak ada yang  memintamu membujukku, bukan? Memangnya kau sendiri sudah hebat? Kurasa  kau pun akan mengatakan agar kita berbaik-baik pada mereka, mengikuti  semua mau mereka, dan memikat perhatian mereka, seperti yang sering kau  lakukan. Begitu bukan?"  
"Ya, Tuhan!" kata anak lelaki itu seraya duduk di sebuah gundukan  berumput di dekat semak-semak, dan segera terlompat lagi bangkit karena  rerumputan itu basah. Sayangnya ia bemama Eustace Scrubb, walaupun ia  bukan anak nakal.  
"Pole!" katanya. "Bukankah aku sudah membela Carter dalam urusan  kelinci kemarin? Dan bukankah aku tetap menutup mulut dalam soal Spiwin  tempo hari?" Scrubb tahu gadis itu belum pulih kembali dan dengan sangat  sabar ia menawarinya sebiji permen. Dia masih punya satu lagi. Akhimya,  Jill mulai bisa kembali memandang dunia dengan cerah.  
"Maafkan aku, Scrubb," kata gadis itu akhimya. "Saya tidak adil. Kau memang sudah cukup baik triwulan ini."  
"Kalau begitu lupakanlah triwulan yang lalu, kalau bisa," kata  Eustace. "Aku sudah berubah. Dulu, wah! Betapa menyebalkannya aku."  
"Yah, terus terang saja, dulu kau memang menyebalkan," kata Jill.  
“Menurutmu, sekarang sudah berubahkah aku?" tanya Eustace.  
"Bukan hanya pendapatku," jawab Jill. "Yang lain pun berpendapat  demikian pula Mereka memerhatikanmu. Si Eleanor Blakiston mendengar  Adela Pennyfather mengatakannya di ruang ganti, kemarin. Katanya, "Ada  yang sudah mempengaruhi si Scrubb cilik. Dia jadi agak susah diatur  triwulan ini. Kita harus segera beri dia pelajaran."  
Eustace mengangkat bahu. Semua anak di Sekolah Percobaan itu tahu apa artinya 'diberi
pelajaran' oleh mereka. Kedua anak itu terdiam sejenak. Setetes air menetes dari daun palem.  
"Kenapa kau jadi begitu berbeda dengan triwulan kemarin?" kata Jill akhirnya.  
"Banyak hal-hal aneh yang kualami selama liburan yang lalu, "kata Eustace penuh teka-teki'  
"Keanehan apa?" Tanya Jill. Beberapa saat Eustace tak berkata sepatah pun. Lalu katanya:  
"Begini, Pole. Kau dan aku sama-sama tak menyrkai tempat ini, bukan?"  
"Ya, memang," jawab Jill.  
"Jadi kupikir aku bisa benar-benar mempercayaimu."  
"Teruskan1ah," kata Jill.  
"Ya, tapi ini benar-benar amat rahasia. Pole, bolehkah kutanya,  percayakah kau pada hal-hal gaib? Maksudku, hal-hal yang mungkin akan  ditertawakan semua orang?"  
"Aku belum pemah mengalaminya," kata Jill,  
"tapi kurasa aku akan percaya."  
"Percayakah kau bila kukatakan bahwa aku meninggalkan alam kita ini -Dunia ini-sewaktu liburan yang 1a1u?"  
"Aku belum menangkap maksudmu."  
"Kalau begitu jangan pusing-pusing tentang dunia, deh. Kalau  kukatakan bahwa aku sudah ke tempat di mana binatang bisa bicara dan eh  -dan- ada sihir dan naga dan segala macam hal yang hanya pemah kau  dengar dalam dongeng." Tampak sekali betapa Scrubb salah tingkah sendiri  ketika menyampaikan hal itu, dan wajahnya membersit merah.  
Karya C. S. Lewis
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar