Jumat, 02 Maret 2012

novel Narnia

Kursi Perak
(Kisah dari Namia)

Di suatu hari yang amat panas di tengah musim gugur, tampak Jill Pole sedang menangis di belakang aula sekolah. Seperti biasa, karena diganggu teman-temannya. Karena ini bukanlah sebuah cerita sekolahan maka akan kuceritakan sedikit saja tentang sekolah Jill, yang memang bukan sebuah bahan cerita yang menyenangkan. Merupakan sebuah sekolah yang menerima anak lelaki maupun wanita, yang di Inggris disebut sekolah campuran, walaupun tak secampur aduk pikiran pengelolanya.
Mereka punya gagasan untuk membiarkan semua anak melakukan apa saja yang di sukai. Sayangnya, yang disukai beberapa anak yang lebih besar adalah mengusik anak-anak lainnya. Segala hal, segala yang menyebalkan, yang di sekolah-sekolah lain pasti akan diusut atau dicegah setengah jalan, di sini boleh saja dilakukan. Dan kalaupun diusut, para pelakunya tak akan dihukum atau diapa-apakan. Kepala Sekolah hanya akan menganggapnya sebagai kasus psikologis yang menarik dan memanggil si pelaku untuk berbincang selama berjam-jam. Dan bila kau bisa menyampaikan sesuatu dengan tepat, kau akan semakin disukai oleh Kepala Sekolah.
Itulah yang membuat Jill Pole menangis pada siang hari itu di sebuah jalan setapak yang becek di antara ruang senam dan semak-semak. Ketika ia belum lagi hendak menyelesaikan tangisnya, muncullah seorang anak dari sudut ruang senam seraya bersiul-siul bersaku tangan. Anak itu hampir saja menabraknya.
"Lihat-lihat dong, kalau jalan!" sergah Jill Pole sengit.
"Oh," jawab anak itu, "gitu saja ngamuk" dan tampak olehnya bahwa gadis itu memerah. "Eh, Pole”, katanya, "Kau kenapa?" Jill hanya menjebik, seperti yang kau lakukan bila hendak mengucapkan sesuatu tapi tahu bahwa begitu kau ucapkan sepatah kata, air matamu akan kembali ambrol seketika.
"Mereka lagi, pasti," tebak anak itu gemas sambil menyusupkan tangannya lebih dalam ke saku celananya. Jill mengangguk. Tak perlu lagi mengucapkan sesuatu, kalaupun ia bisa. Mereka berdua sudah sama-sama maklum.
"Nah, sudahlah," kata anak lelaki itu. Sebetulnya ia bermaksud baik, namun karena nada ucap-annya yang seperti hendak berkhotbah, membuat kegusaran Jill meluap seketika (seperti biasa kau rasai juga bila terpotong ketika sedang enak-enak menangis).
"Huh! Pergi sana!”, “Usil amat," usir gadis itu. "Tak ada yang memintamu membujukku, bukan? Memangnya kau sendiri sudah hebat? Kurasa kau pun akan mengatakan agar kita berbaik-baik pada mereka, mengikuti semua mau mereka, dan memikat perhatian mereka, seperti yang sering kau lakukan. Begitu bukan?"
"Ya, Tuhan!" kata anak lelaki itu seraya duduk di sebuah gundukan berumput di dekat semak-semak, dan segera terlompat lagi bangkit karena rerumputan itu basah. Sayangnya ia bemama Eustace Scrubb, walaupun ia bukan anak nakal.
"Pole!" katanya. "Bukankah aku sudah membela Carter dalam urusan kelinci kemarin? Dan bukankah aku tetap menutup mulut dalam soal Spiwin tempo hari?" Scrubb tahu gadis itu belum pulih kembali dan dengan sangat sabar ia menawarinya sebiji permen. Dia masih punya satu lagi. Akhimya, Jill mulai bisa kembali memandang dunia dengan cerah.
"Maafkan aku, Scrubb," kata gadis itu akhimya. "Saya tidak adil. Kau memang sudah cukup baik triwulan ini."
"Kalau begitu lupakanlah triwulan yang lalu, kalau bisa," kata Eustace. "Aku sudah berubah. Dulu, wah! Betapa menyebalkannya aku."
"Yah, terus terang saja, dulu kau memang menyebalkan," kata Jill.
“Menurutmu, sekarang sudah berubahkah aku?" tanya Eustace.
"Bukan hanya pendapatku," jawab Jill. "Yang lain pun berpendapat demikian pula Mereka memerhatikanmu. Si Eleanor Blakiston mendengar Adela Pennyfather mengatakannya di ruang ganti, kemarin. Katanya, "Ada yang sudah mempengaruhi si Scrubb cilik. Dia jadi agak susah diatur triwulan ini. Kita harus segera beri dia pelajaran."
Eustace mengangkat bahu. Semua anak di Sekolah Percobaan itu tahu apa artinya 'diberi
pelajaran' oleh mereka. Kedua anak itu terdiam sejenak. Setetes air menetes dari daun palem.
"Kenapa kau jadi begitu berbeda dengan triwulan kemarin?" kata Jill akhirnya.
"Banyak hal-hal aneh yang kualami selama liburan yang lalu, "kata Eustace penuh teka-teki'
"Keanehan apa?" Tanya Jill. Beberapa saat Eustace tak berkata sepatah pun. Lalu katanya:
"Begini, Pole. Kau dan aku sama-sama tak menyrkai tempat ini, bukan?"
"Ya, memang," jawab Jill.
"Jadi kupikir aku bisa benar-benar mempercayaimu."
"Teruskan1ah," kata Jill.
"Ya, tapi ini benar-benar amat rahasia. Pole, bolehkah kutanya, percayakah kau pada hal-hal gaib? Maksudku, hal-hal yang mungkin akan ditertawakan semua orang?"
"Aku belum pemah mengalaminya," kata Jill,
"tapi kurasa aku akan percaya."
"Percayakah kau bila kukatakan bahwa aku meninggalkan alam kita ini -Dunia ini-sewaktu liburan yang 1a1u?"
"Aku belum menangkap maksudmu."
"Kalau begitu jangan pusing-pusing tentang dunia, deh. Kalau kukatakan bahwa aku sudah ke tempat di mana binatang bisa bicara dan eh -dan- ada sihir dan naga dan segala macam hal yang hanya pemah kau dengar dalam dongeng." Tampak sekali betapa Scrubb salah tingkah sendiri ketika menyampaikan hal itu, dan wajahnya membersit merah.
Karya C. S. Lewis

Novel dengan tahap2 alur

ALUR FLASHBACK

Pernah baca cerpen or novel yang di awal kisah langsung bercerita tentang masa lalu sang tokoh. Nah, ini yang disebut flashback. Sama seperti kalo kita nonton film, dan di awal adegan sudah menampilkan cerita masa lalu sang Tokoh.

Memakai alur ini boleh-boleh saja, hanya perlu diingat cerpen itu terbatas jumlah halamannya. Jadi, harus dipikirkan baik-baik hasil akhirnya. Jangan sampai gara-gara memakai alur ini cerpen menjadi sangat panjang.

Alur ini lebih cocok dipakai untuk novel atau cerber.

Dalam alur ini, setelah masa lalu dikisahkan, maka cerita diakhiri dengan masa kini.

ALUR MAJU

Alur cerita ini paling banyak digunakan karena lebih mudah dan sangat tepat dipakai untuk mereka yang baru belajar menulis cerpen. Sesuai namanya, alur cerita seperti ini memuat adegan demi adegan yang maju terus. Misalnya : adegan pertama : A ketemu B di mal, adegan kedua : A menyatakan cinta pada B, adegan ketiga : B menerima cinta dan mereka menjadi sepasang kekasih yg bahagia.

Apapun alur cerita yang kamu pilih, pastikan alur yang kamu buat tidak datar dan kaku. Apa sih yang dimaksud dengan datar dan kaku?


Pernah membaca cerpen orang lain yang alurnya membosankan dan rata aja. Alias enggak ada gregetnya. Persis jalan tol. Lurusss aja. Nah, itu yang disebut alur datar dan kaku.

Oke, sampai disini penjelasan tentang Alur. Bila masih tak mengerti, silakan bertanya.

contoh novel alur  maju
Robohnya Surau Kami

Salah satu cerpen yang paling dikenal dalam kumpulan cerpen ini, yaitu Robohnya Surau Kami. Cerpen ini mengambil latar di pedesaan. Bercerita tentang seorang kakek yang sangat taat pada agama. Yang selalu bangun pagi-pagi, bersuci, membangunkan orang-orang dari tidurnya supaya bersujud kepada Tuhan. Hal ini dilakukannya sampai berangkat tidur pada malam hari. Kakek ini bernama Haji Saleh, karena dia sudah naik haji, dia yakin akan masuk surga nantinya. Sementara dia lupa untuk menafkahi anak, istri, dan kemenakan serta orang kampungnya. Sehingga kehidupan mereka setiap keturunannya tetap melarat, walau selalu memuji-muji Tuhan. Dan pada suatu hari Ajo Sidi, seorang pembual yang dikenal di kampung bercerita kepada Kakek, yaitu bahwa Tuhan memasukkannya dan keluarganya serta orang-orang kampungnya ke dalam neraka, karena terlalu egois dan terlalu mementingkan diri sendiri dan menelantarkan orang sekitar semasa hidupnya. Hal ini membuat Kakek sangat marah dan sakit hati. Di kemudian hari, Haji Saleh menjadi sangat menyesal dan menggorok lehernya sendiri, lalu mati dalam penyesalannya.

Tema yang diangkat pada cerpen robohnya surau kami ini yaitu keseimbangan. Keseimbangan merupakan tema sentral yang dijadikan penulis dalam cerpen ini. Keseimbangan antara beribadah dengan Tuhan dan dengan orang-orang sekitar kita, yang menjadi permasalahan yang digambarkan penulis pada Haji Saleh, Seorang kakek yang menyesal pada akhir cerita terhadap dirinya yang selalu beribadah dan beribadah pada Tuhan, tanpa memperhatikan orang sekitar, bahkan keluarganya sendiri.

Alur cerpen ini maju. Cerpen ditulis dari awal sampai akhir dengan berurutan. Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami jalan cerita. Sudut pandang menggunakan sudut pandang orang pertama dengan tokoh “Aku” yang berada dalam cerita.

Gaya bahasa yang digunakan, contoh ada menggunakan majas litotes ‘Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh’, dan sebagainya. A.A Navis juga menggunakan sedikit bahasa yang kental nuansa minangnya, seperti kata-kata surau, Ajo, Etek, Sidi, dan lainnya yang dapat ditemukan dalam cerita.

Amanat yang dapat kita ambil dalam cerpen ini, yakni kita hendaknya seimbang antara hubungan vertikal kita dengan Tuhan dan hubungan kita dengan orang sekitar kita. Tokoh Kakek dalam cerpen dapat kita jadikan pelajaran, agar kita dalam hidup ini, tidak hanya dengan beribadah dan beribadah saja.

Penulis menggunakan penggunaan kata-kata yang lugas dan ringan, sehingga cerpen ini dapat dinikmati orang banyak. Ditambah amanat-amanat dalam cerita yang dapat kita ambil hikmah dan manfaatnya ini, menjadi kekuatan tersendiri dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Pemikiran A.A Navis yang kritis dapat menjadi pembelajaran yang menarik bagi kita semua.

Terlepas dari kelebihannya, kelemahan atau kekurangan yang dapat kita jumpai dalam cerpen ini sangatlah sulit untuk ditemukan. Kelemahan buku ini paling hanya terdapat sedikit sewaktu akhir cerita, dimana penulis tidak terlalu menjelaskan secara detail mengapa Kakek bunuh diri. Sehingga interpretasi pembaca akan berbeda-beda. Walaupun sebenarnya alasannya tidak sebutkan, pembaca juga pasti sudah tahu alasannya mengapa.